Film Abadi Nan Jaya (2025) mengambil latar di desa fiktif bernama Wanirejo, sebuah daerah terpencil di Yogyakarta yang terkenal karena pabrik jamu besar milik keluarga Sadimin, bernama Wani Waras. Sadimin, sang kepala keluarga yang sudah berumur, hidup bersama istri keduanya, Karina, dan anak sulungnya yang seorang gamer bernama Bambang. Hubungan Sadimin dengan anak-anaknya tidak terlalu akur, terutama dengan Kenes, anak keduanya. Ironisnya, Karina yang dulu sahabat kecil Kenes, kini justru menjadi ibu tirinya. Meski Kenes menyimpan rasa benci, Karina tetap berusaha memperbaiki hubungan mereka.
Suatu hari, Kenes datang ke desa bersama suaminya, Rudi, dan anak mereka, Raihan. Mereka membawa proposal bisnis setelah mendengar kabar bahwa sang ayah berencana menjual pabrik jamu sekaligus pensiun. Sementara itu, Karina diam-diam ingin memanfaatkan momen itu untuk berbulan madu dengan Sadimin agar mereka bisa punya anak bersama. Di tengah semua rencana itu, Sadimin menerima sampel jamu baru dari pabrik — sebuah produk misterius bernama Abadi Nan Jaya, yang bahkan belum terdaftar di BPOM. Setelah meminumnya, Sadimin merasa tubuhnya berubah drastis: uban hilang, kulit kencang, wajah segar, dan matanya tak lagi butuh kacamata. Ia pun dengan bangga memperlihatkan “keajaiban” itu pada Karina, sambil menatap tanaman kantong semar di pot — bahan utama ramuan jamu yang membuatnya tampak muda kembali.
Sadimin Menjadi Zombie Pertama di Wanirejo
Sadimin menolak sampai merobek proposal bisnis Rudi dan Kenes. Mereka pun tampak heran kenapa Sadimin tampak jauh lebih muda. Selain itu si bapak memang lebih agresif. Dia menyinggung sifat pasangan itu, juga si Bambang yang hanya suka bermain saja. Sebenarnya kedatangan Kenes kesana juga ingin cepat-cepat mendapatkan hasil penjualan pabrik karena mau bercerai dengan Rudi yang berselingkuh darinya. Tingkah Sadimin itu membuat mereka kecewa.
Namun tidak berapa lama Sadimin mengalami kejang parah dan wajahnya dipenuhi totol-totol semacam pola dari tanaman kantong semar. Kemudian dia rubuh, namun kembali berdiri dan mulai menyerang dengan cepat para pekerja rumah, menggigit hingga berdarah-darah. Bambang hampir kena gigit juga, berkat senjata mainannya, dia berhasil menewaskan sang bapak.
Bambang berlari masuk ke dalam mobil. Dia merasa terpukul karena merasa telah membunuh bapaknya sendiri. Kenes ikut masuk ke dalam mobil, memintanya untuk tidak berpikir seperti itu. Lagipula dia masih butuh sang kakak jika sudah bercerai nanti. Ketika mereka sedang berbagi kegalauan, dari kaca spion terlihat para pekerja rumah mulai saling menyerang. Mereka berdua terpisah dari Rudi, Karina, Raihan dan satu ibu pekerja. Sementara yang berempat ini juga lari ke area belakang dekat rumah kepala desa.
Acara khitanan yang digelar di dekat rumah kepala desa berubah jadi kekacauan besar ketika sopir keluarga Sadimin tiba-tiba berulah dan menggigit para tamu—membuat suasana pesta berubah jadi teror mencekam. Di tengah keriuhan itu, ada Ningsih, gadis desa yang sempat bersitegang dengan kekasihnya, Rahman, seorang polisi. Ia kesal karena Rahman harus segera kembali ke kantor, padahal belum juga melamarnya meski hubungan mereka sudah lama. Perdebatan kecil itu berakhir begitu saja ketika desa mendadak dilanda kepanikan.
Saat kekacauan menyebar, Ningsih berhasil kabur pulang dengan napas tersengal. Namun sesampainya di rumah, ia justru mendapati Karina dan Raihan sudah ada di dalam—keduanya tampak ketakutan dan bingung. Ketegangan meningkat ketika mereka mendengar suara aneh dari salah satu ruangan. Ternyata Rudi yang sudah terinfeksi dan berubah menjadi sosok mengerikan kini terperangkap di sana, membuat suasana rumah itu berubah jadi jebakan maut bagi mereka bertiga.
Rumah Ningsih dan Kantor Polisi Jadi Latar Pengepungan Zombie
Karina akhirnya berhasil menghubungi Kenes, yang ternyata sudah berlindung di kantor polisi bersama Rahman dan Bambang. Sayangnya, situasi di sana tak kalah genting — sebagian besar polisi sudah tewas, dan bantuan dari kantor terdekat pun tak kunjung datang. Dalam percakapan yang penuh emosi, Kenes meminta maaf pada Karina, menyadari betapa besar bantuan sahabat lamanya itu selama ini. Karina pun membalas dengan tulus, mengaku bahwa cintanya pada Sadimin bukan sekadar ambisi, melainkan perasaan yang nyata. Sebelum sambungan terputus, Kenes menitipkan pesan terakhir: agar Karina menjaga Raihan jika sesuatu menimpanya.
Di tengah hujan deras, Karina, Ningsih, dan Raihan melarikan diri dengan sepeda motor tua. Aneh tapi nyata, para zombie tampak melambat dan tak mampu bergerak cepat saat tubuh mereka tersiram air hujan. Mereka memanfaatkan momen itu untuk menuju kantor polisi tempat Rahman dan Kenes berada. Sementara itu, di dalam kantor, Rahman dan kelompok kecil yang tersisa mencoba keluar dengan perlengkapan seadanya—jaket tebal, helm, bahkan tameng darurat—sambil menyalakan petasan untuk mengalihkan perhatian zombie. Tapi hujan tak berlangsung lama. Begitu reda, makhluk-makhluk itu kembali menyerbu, membuat mereka terkepung.
Dalam kekacauan, Kenes nekat menaiki truk dan menghampiri Karina serta yang lain. Namun keadaan berubah tak terkendali ketika Karina yang mengambil alih kemudi justru menabrakkan truk itu ke arah kantor polisi, tempat Rahman dan Bambang bersembunyi. Jeritan dan suara kaca pecah bercampur dengan raungan zombie yang makin banyak berdatangan. Kini mereka semua terjebak tanpa jalan keluar. Apakah masih ada harapan untuk bertahan hidup di tengah kepungan zombie yang tak kenal ampun ini?
Film Abadi Nan Jaya, Hiburan Horor Memuaskan di Bulan Oktober
Film Abadi Nan Jaya bisa dibilang sebagai film zombie Indonesia paling niat dan serius sejauh ini! Memang bukan yang pertama—sebelumnya ada juga Reuni Z, tapi film itu lebih ke arah komedi dan terasa kurang greget di banyak aspek. Untuk versi series, aku memang belum sempat nonton, tapi banyak yang bilang Hitam dan Zona Merah cukup solid. Nah, Abadi Nan Jaya hadir seperti angin segar, jadi tolak ukur baru bagi sineas Indonesia yang ingin menaklukkan genre zombie dengan cara yang lebih matang dan sinematik. Bahkan dari judulnya saja sudah keren—terinspirasi dari penggalan lagu kemerdekaan, tapi juga punya makna ganda: “abadi” layaknya zombie yang tak mati-mati. Intensitas ceritanya pun terjaga dari awal sampai akhir; bikin tegang, tapi tetap seru buat diikuti. Jujur aja, hampir semua elemen film ini terasa pas dan memuaskan — rating 4 koma tapi aku bulatkan jadi 5 deh! 😄
Bagian makeup dan koreografi para zombie benar-benar luar biasa. Detil luka berlubang yang bikin merinding karena menyerupai pola kantong semar itu diaplikasikan dengan sangat rapi di wajah para pemain. Kabarnya, proses makeup-nya bisa makan waktu sampai tiga jam untuk setiap aktor, dengan total sekitar 200 orang pemain dan 20 MUA yang turun tangan — gila, totalitas banget! Koreografinya pun nggak kalah keren, zombie-nya lari cepat dengan gerakan patah-patah khas film luar negeri. Sementara itu, sisi sinematografi juga patut diacungi jempol: ada drone shot, close-up tajam, dan angle lebar yang bikin suasana makin hidup. Adegan paling berkesan tentu saat kamera menyorot Rahman dan tim di atap kantor polisi, dikepung zombie sambil petasan meledak di langit — epic! Walau beberapa efek CGI-nya masih kelihatan, tapi tetap halus dan tidak mengganggu. Tone warnanya juga cantik — kontras darah merah di tengah hamparan sawah hijau bikin film ini terasa segar dan artistik, jauh dari kesan suram yang biasanya melekat di film zombie lainnya.
Adegan Detail, Plot Cerita Perlu Lebih Tergali
Salah satu hal yang bikin Abadi Nan Jaya terasa begitu niat adalah perhatian terhadap detail adegan dan properti. Mulai dari set pabrik jamu Wani Waras yang tampak realistis, botol sampel produk, hingga kemasan minuman yang dibawa Ningsih saat acara khitanan — semuanya dibuat rapi dan menyatu dengan cerita. Nuansa lokalnya pun kental banget: ada acara dangdutan desa, truk bergambar warna-warni lengkap dengan tulisan lucu dan suara telolet khas Jawa, hingga tingkah laku para polisi yang benar-benar mencerminkan suasana Indonesia. Semua itu bikin film ini terasa dekat dan natural, bukan sekadar tiruan dari film zombie luar negeri. Dari sisi scoring, juga patut diapresiasi — suara para zombie dibuat sangat menyeramkan dan bertekstur, bikin bulu kuduk merinding. Sayangnya, seperti kebanyakan film Indonesia, masalah audio dialog masih belum sempurna; beberapa percakapan terdengar pelan seperti “kumur-kumur”, jadi aku sempat harus memutar ulang beberapa adegan biar bisa nangkap jelas apa yang mereka ucapkan.
Selain soal suara, alur ceritanya juga sebenarnya masih bisa dikembangkan lagi. Cerita sudah cukup runtut, tapi bagian latar belakang jamu “Abadi Nan Jaya” terasa agak kurang digali. Kenapa pabrik Wani Waras tiba-tiba memilih kantong semar sebagai bahan utama? Apakah sudah ada riset mendalam sebelumnya? Dan yang paling membingungkan, kenapa percobaan justru dilakukan langsung pada bosnya sendiri, Sadimin? Biasanya kan uji coba semacam itu pakai hewan atau relawan dulu, bukan langsung ke manusia utama yang punya pabrik. Apalagi jamunya belum mendapat izin BPOM, jadi terasa agak janggal secara logika. Berdasarkan info yang aku baca di internet, pemilihan kantong semar ini memang simbolis — karena tanaman itu bersifat “karnivora”, menelan serangga untuk bertahan hidup. Tapi kalau begitu, kenapa efeknya pada manusia justru membuat mereka jadi agresif dan menyerang sesama manusia, bukan hewan? Bagian ini sebenarnya menarik banget, tapi sayang tidak dijelaskan lebih dalam. Kalau saja elemen “riset jamu” ini dikembangkan lebih jauh, filmnya bisa punya lapisan cerita ilmiah yang lebih kuat dan bikin makin ngeri karena terasa realistis.
Film Abadi Nan Jaya Akan Ada Lanjutan di Bagian Kedua?
Bener banget, kemungkinan besar misteri soal jamu “Abadi Nan Jaya” ini memang sengaja disimpan untuk sekuel berikutnya. Soalnya di ending kita dikasih clue yang cukup jelas — Grace terlihat meminum sampel kedua, lalu bersiap naik pesawat. Ini membuka kemungkinan besar bahwa chaos berikutnya bakal terjadi di Jakarta, atau bahkan di dalam pesawat itu sendiri. Bayangin aja, kalau benar begitu, film keduanya bisa jadi lebih luas skalanya: dari tragedi lokal di pedesaan, berubah jadi wabah nasional. Kalau dibandingkan dengan film atau series zombie lain, hal semacam ini memang umum; Kingdom misalnya, juga tidak langsung menjelaskan asal virusnya dengan detail, hanya menyebut tanaman misterius. Train to Busan pun cuma memberi petunjuk kalau penyebabnya bocoran dari pabrik biokimia. Jadi, pilihan Kimo untuk menyimpan asal-usul jamu ini buat lanjutan filmnya terasa masuk akal.
Aku juga setuju bahwa adegan Karina berlari sambil melindungi Raihan terasa mirip dengan momen emosional di Train to Busan — tapi bukan berarti meniru secara mentah. Formula seperti itu memang sudah jadi template klasik film zombie: hubungan orang tua dan anak di tengah kehancuran dunia. Justru kalau Kimo mau mengembangkan sisi “jamu” sebagai inti ceritanya, film ini bisa jadi punya identitas khas Indonesia yang kuat banget. Bayangkan kalau di sekuel nanti dijelaskan bahwa jamu itu bukan sekadar simbol awet muda, tapi juga bentuk obsesi manusia terhadap kekuasaan dan keabadian, dibalut budaya tradisional. Bisa jadi Sadimin membuat jamu itu untuk menjaga vitalitasnya demi Karina, atau mungkin juga karena ambisi bisnis saat pabriknya hampir bangkrut. Semua kemungkinan itu terbuka dan menarik untuk dieksplorasi lebih dalam.
Untuk karakterisasinya, film ini juga punya kedalaman tersendiri. Konflik antara Karina dan Kenes, dua sahabat yang dipisahkan oleh pernikahan dengan sang ayah, terasa dramatis tapi masih masuk akal. Ceritanya mencerminkan realita sosial — banyak keluarga mapan yang kelihatannya bahagia, tapi retak di dalam. Respons tiap tokohnya terhadap wabah pun sangat “Indonesia banget”: ada yang mengira orang kerasukan, ada yang nekat melawan padahal sudah jelas bahaya di depan mata. Bahkan tingkah polisi dan sopir truk di film ini terasa seperti potret nyata masyarakat kita — berani tapi kadang kurang perhitungan. Kalau dipikir-pikir, adegan-adegan seperti ini juga nyindir hal-hal nyata, seperti waktu masa COVID dulu, ketika banyak orang menolak percaya dan abai terhadap bahaya. Jadi, film ini bukan cuma hiburan penuh darah dan zombie, tapi juga punya lapisan kritik sosial yang cukup cerdas dan relevan.
Karakter Manusiawi, Adegan Komikal Juga Ada
Iya, bagian itu memang bikin penonton gemas sekaligus mikir. Tingkah para tokoh utamanya kadang terasa “manusiawi banget,” tapi juga bikin kita geregetan. Misalnya si Bambang, yang notabene seorang gamer — harusnya paham strategi bertahan hidup atau minimal ngerti pola serangan zombie dari game yang sering dia mainkan. Tapi justru dia malah bingung, masih nyuruh polisi untuk “menenangkan” para zombie seolah mereka cuma warga yang rusuh. Kalau dipikir, mungkin dia masih dalam fase denial, nggak percaya kalau semua itu benar-benar terjadi. Dari sisi lain, bisa juga karena nalurinya masih fokus ke keluarga, bukan ke penyelamatan massal. Dalam kondisi ekstrem, manusia memang sering lebih mementingkan diri sendiri dan orang terdekat, bukan mikir secara logis.
Kenes juga nggak kalah nyebelin — teriak-teriak, panikan, bahkan sempat bunyiin klakson di momen genting. Padahal itu jelas bisa memancing perhatian zombie. Tapi ya, di situ justru terasa realistis. Reaksi mereka bukan seperti pahlawan film, melainkan seperti orang biasa yang tiba-tiba terjebak di mimpi buruk. Sayangnya, emosi Kenes di beberapa adegan terasa agak datar. Justru momen paling menyayat hati datang dari Ningsih dan Rahman di ending. Ironis banget, impian sederhana Ningsih untuk dilamar akhirnya “terwujud,” tapi dalam situasi paling tragis yang bisa dibayangkan.
Nah, kalau ada yang bilang film ini nggak punya antagonis utama, sebenarnya poinnya menarik. Karena musuh terbesarnya bukan satu sosok jahat, tapi diri mereka sendiri — keserakahan, ego, rasa takut, dan keputusan-keputusan buruk yang mereka buat. Semua berawal dari pabrik jamu mereka sendiri, lalu cara mereka menyikapi bencana malah memperburuk keadaan. Saat akhirnya satu per satu mati, penonton justru nggak merasa kehilangan, lebih ke “ya wajar aja sih.” Hanya Karina yang terasa punya sisi kemanusiaan paling kuat — dia berusaha memperbaiki hubungan, tetap tulus mencintai Sadimin, bahkan rela menjaga Raihan sampai akhir, meski sudah disalahpahami.
Uniknya, film ini juga seperti sengaja menggambarkan dunia di mana tidak ada satu pun orang yang tahu apa itu zombie. Nggak ada yang menyebut kata itu sama sekali — seakan-akan di semesta Abadi Nan Jaya, genre zombie belum pernah eksis. Ini menambah kesan komikal sekaligus satir. Misalnya adegan klakson telolet di tengah kejar-kejaran, atau kumandang adzan dzuhur yang tiba-tiba tenggelam oleh teriakan para zombie — terasa absurd tapi kuat banget secara simbolik.
Dan kalau dipikir, keputusan menaruh chaos besar di kantor polisi juga bukan tanpa makna. Bisa dibilang itu bentuk sindiran sosial — tempat yang seharusnya jadi simbol ketertiban malah jadi pusat kekacauan. Seolah film ini ingin bilang bahwa ketika krisis melanda, semua sistem runtuh, dan manusia cuma kembali pada naluri paling dasar: bertahan hidup. Satir banget, tapi justru itu yang bikin Abadi Nan Jaya terasa lebih dari sekadar film zombie — ini juga refleksi sosial dengan cita rasa lokal yang cerdas dan berani.
Akting Bagus, Bahkan Sampai Pada Para Pemeran Zombienya!
Dari segi akting, Abadi Nan Jaya bisa dibilang tampil solid hampir di semua lini. Donny yang memerankan zombie pertama tampil mengesankan — transformasinya dari manusia biasa menjadi sosok mengerikan terasa sangat hidup dan intens. Deretan pemeran zombie lainnya pun tak kalah total, masing-masing punya ciri khas dan energi tersendiri. Penonton disuguhi berbagai tipe zombie yang unik: ada yang hanya tersisa setengah badan dari perut ke atas, ada juga waria penyanyi dangdut yang berubah jadi makhluk ganas namun tetap dengan aura khasnya. Detail kecil seperti ini bikin dunia filmnya terasa dinamis dan berwarna, meski mencekam.
Untuk akting para pemeran utama, sebagian besar mampu membawa emosi dengan baik. Hanya saja, Mikha terasa agak kurang maksimal di beberapa adegan emosional — khususnya saat momen menangis yang seharusnya bisa lebih menyentuh. Sedangkan untuk anak kecil, ekspresinya kadang masih canggung, tapi wajar sih mengingat usianya dan pengalaman akting yang belum banyak. Secara keseluruhan, performa mereka tetap mendukung narasi dan membuat situasi terasa nyata, terutama di tengah kepanikan massal dan kepungan zombie.
Secara keseluruhan, Abadi Nan Jaya adalah langkah berani dalam perfilman Indonesia — mengangkat genre zombie dengan keseriusan teknis dan nuansa lokal yang kuat. Walaupun durasinya terbatas dan beberapa plot terasa belum tuntas digali, film ini tetap meninggalkan kesan mendalam. Kalau kisahnya dikembangkan menjadi series, kemungkinan besar hasilnya bisa jauh lebih kaya dan mendalam, karena setiap karakter dan latar bisa dieksplorasi dengan lebih luas. Ide tentang zombie yang melambat saat hujan juga brilian dan segar — mirip dengan Kingdom yang menampilkan zombie yang tak bergerak di siang hari. Elemen seperti ini menunjukkan bahwa sineas Indonesia mulai berani menciptakan aturan dunianya sendiri, bukan sekadar meniru film luar. Hasil akhirnya? Sebuah film zombie lokal yang penuh identitas, intens, dan layak diacungi jempol.
Berbagai Makna Mendalam dari Film Abadi Nan Jaya (2025)
Film Abadi Nan Jaya (2025) pada akhirnya bukan cuma soal zombie atau aksi berdarah, tapi juga punya pesan yang dalam tentang makna keluarga dan kehidupan. Film ini mengingatkan bahwa tak ada keluarga yang sempurna — setiap rumah pasti punya luka dan rahasianya sendiri. Bahkan keinginan manusia untuk hidup abadi pun hanyalah ilusi, karena pada akhirnya umur dan waktu tetap punya batas. Uang memang bisa mempermudah banyak hal, tapi kebahagiaan sejati datang dari kedekatan dengan orang-orang terdekat. Jadi, sebelum semuanya terlambat, luangkan waktu untuk keluarga, nikmati momen sederhana, dan jangan menunggu sampai “punya waktu luang,” karena kesibukan tidak akan pernah habis.
Buat kamu yang suka film zombie dengan cita rasa lokal, Abadi Nan Jaya wajib masuk daftar tontonan. Film ini punya paket lengkap: durasi yang pas, aksi seru dengan tembakan dan ledakan, balutan budaya Indonesia yang kental, serta sedikit drama keluarga yang bikin hati hangat di tengah kekacauan. Nggak perlu mikir berat — tinggal nikmati saja sensasi thriller khas desa Yogyakarta yang dibalut visual keren dan intensitas tinggi. Semoga aja film ini benar-benar lanjut ke bagian 2, karena masih banyak misteri yang belum terungkap. Amin! Sampai jumpa di review selanjutnya ya 😄🍿
Info Seputar Film Abadi Nan Jaya (2025)
| Judul | Abadi Nan Jaya (2025) |
| Tanggal Rilis | 23 Oktober 2025 |
| PH | Mowin Pictures, Netflix |
| Genre/Rate | Zombie, Horror, Thriller /18+ |
| Negara Asal : | Indonesia; |
| Waktu : | 116 Menit |
Pemain : Mikha Tambayong sebagai Kenes, Eva Celia Latjuba sebagaiKarina, Donny Damara sebagai Sadimin, Marthino Lio sebagai Bambang, Dimas Anggara sebagai Rudi, Varen Arianda Calief sebagai Raihan, Ardit Erwandha sebagai Rahman, Claresta Taufan Kusumarina sebagai Ningsih, Kiki Narenda sebagai sopir keluarga, Vonny Anggraini sebagai Mbok Sum, Karina Suwandhi sebagai Grace
Trailer bisa lihat di sini: